June 29, 2014

[Review] How to Train Your Dragon 2 (2014)


Sejak kemunculannya pertama kali dalam instalment pertamanya pada tahun 2010, How to Train Your Dragon mengalami perkembangan yang cukup besar. Berawal dari kisah klasik anak-anak berbentuk buku berseri karangan penulis British, Cressida Cowell yang kemudian diadaptasi ke layar lebar oleh duo sineas Dean DeBlois dan Chris Sanders, film yang mengisahkan tentang bangsa Viking ini menjelma menjadi salah satu film animasi terbaik ciptaan DreamWorks karena kualitas penceritaannya yang bagus serta menghidupkan kembali kejayaan naga fantasi. Terhitung sudah tiga film pendek dan dua season serial televisi (dan masih berlanjut ke season ketiga pada tahun 2015) yang sudah ditelurkan oleh rumah produksi yang sama yang menaungi trilogi Madagascar. Dalam serial televisinya yang kerap mendapat sebutan DreamWorks Dragon yang masing-masing season bertajuk Riders of Berks (2012-2013) dan Defenders of Berks (2013-2014) berkisah tentang petualangan sang penunggang Night Fury di selang waktu menuju instalment keduanya ini.

June 27, 2014

[Review] The Fault in Our Stars (2014)


Saya tak pernah lupa tanggal hari pertama sebuah film rilis di layar lebar. Berbekal ingatan yang cukup tajam itulah saya seringkali mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain yang tak berhubungan dengan menonton film. Hari ini adalah hari pertama The Fault in Our Stars tayang, tentu setelah menyelesaikan kewajiban saya di kampus, saya siap menuju bioskop untuk menyantap film yang bergenre romantis tersebut. Ketika itu langit terlihat begitu gelap, menandakan betul bahwa tinggal menunggu waktu untuk semesta menyirami Bumi. Masa bodoh pikir saya, toh nanti di dalam teater pun juga tak terasa jika nanti akan turun hujan badai sekalipun.

Bahkan sampai film ini rilis, I didn't know anything about John Green. Penulis asal Amerika tersebut telah menelurkan beberapa karyanya dalam bentuk novel young-adult. Sudah barang tentu novel keenamnya yakni The Fault in Our Stars menjadi incaran studio raksasa Hollywood. Just like usual, kali ini sang sineas yang baru memulai debut layar lebarnya pada tahun 2012 lalu lewat Stuck in Love, Josh Boone memegang kendali penuh untuk menerjemahkan setiap halaman bahasa tulis dalam novel yang laris tak hanya dari segi penjualan namun juga dari pujian para pembacanya ini ke dalam bahasa visual. Pada umumnya, sebuah novel best-seller sudah pasti mempunyai fans-nya sendiri, mengingat hal tersebut cukup fatal sehingga bisa menjadi perhatian bagi pembuat film untuk tidak mengecewakan kalangan tersebut. Belakangan juga terlihat jelas bahwa film-film adaptasi dari ranah young-adult cukup menjual dan mampu menggandeng fans baru yang dalam hal ini belum membaca kisah aslinya yang dibukukan, but.. The Fault in Our Stars was still so adorable with simple premise.. tidak seperti koleganya dengan genre serupa yang menggantungkan pesonanya melalui mahkluk inhuman, sci-fi, fantasi, hingga dunia distopia. 

June 15, 2014

[Review] Mari Lari (2014)


Tentu sudah banyak sekali film yang mengusung tema olahraga. Karena selain sebagai hiburan, film dengan tema olahraga seringkali mengeksplore lebih dalam sisi menarik mengenai sebuah cabang olahraga yang disinggung. Tak bisa dipungkiri, hal tersebut setidaknya mampu menghipnotis beberapa penonton awam yang sebelumnya acuh tak acuh terhadap cabang olahraga tersebut menjadi tertarik untuk menekuninya. Tak ketinggalan juga di Indonesia, yang sering diangkat ke layar lebar selama ini masih seputar sepak bola tapi tak menutup kemungkinan dengan cabang olahraga yang lain. Belakangan, sepertinya lagi trend komunitas lari. Mari Lari adalah debut penyutradaraan dari sineas asal Indonesia, Delon Tio yang sebelumnya lebih sering sebagai produser (6:30, Claudia/Jasmine, Rumah Dara, Gara-gara Bola, Simfoni Luar Biasa). Memasang aktor utama Dimas Aditya dan si cantik Olivia Jensen, mari kita lihat apakah Mari Lari mampu bertahan di tengah gempuran film-film musim panas Hollywood.

June 08, 2014

[Review] Maleficent (2014)


Again and again. Film dengan adaptasi dongeng yang dikemas dengan sudut pandang berbeda tentu bukanlah hal yang terbilang baru lagi. Menilik beberapa tahun belakangan, sudah ada Red Riding Hood (2011), Mirror Mirror (2012), Snow White and The Hunstman (2012), Jack and The Giant Slayer (2013), dan Hansel & Gretel: Witch Hunters (2013). Kali ini, sebuah cerita klasik tahun 1959 dengan sosok putri Aurora, yang terkenal lewat judul Sleeping Beauty menjadi proyek teranyarnya Disney sebagai sajian musim panas tahun ini. Film yang bercerita tentang putri tidur ini adalah proyek debutan sang sineas Robert Stomberg, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai master of special effect dengan prestasinya yang sukses telah memboyong piala Oscar melalui Avatar dan Alice in Wonderland. Tentu bukanlah perkara yang mudah bagi sang sineas untuk mencoba peruntungannya melalui Maleficent ini mengingat film-film dengan adaptasi dongeng klasik selalu menjadi incaran empuk bagi kritikus-kritikus dunia maupun penonton awam yang terlanjur mencintai kisah aslinya.

May 31, 2014

[Review] Edge of Tomorrow (2014)


Live. Die. Repeat. Tagline yang begitu menarik dari sebuah film garapan sang sineas asal Amerika, Doug Liman (The Bourne Identity, Mr & Mrs. Smith). Seakan menyiratkan fenomena aneh tentang sebuah perulangan dari hidup manusia. Tentu bagi kamu yang sudah menonton Groundhoug Day atau Source Code sudah tak asing lagi dengan formula seperti ini. Memasang duo karakter utama sebagai daya tarik yang cukup signifikan, salah satunya Tom Cruise yang tentunya sudah banyak makan asam garam dalam dunia perfilman Hollywood, apalagi dengan genre yang serupa. Lihat saja beberapa tahun belakangan ini, Mission Impossible: Ghost Protocol, Oblivion, dan Jack Reacher adalah judul-judul film yang cukup menghibur walaupun ditanggapi sebaliknya bagi para kritikus dunia. Yang menjadi pertanyaan, mampukah Edge of Tomorrow berdiri sebagai sajian yang memuaskan mengingat sejauh ini deretan film summer blockbuster sudah mencukupi standar gizi?

May 23, 2014

[Review] X-Men: Days of Future Past (2014)


Finally, penantian panjang pun terbayar juga. Salah satu film franchise adaptasi dari komik Marvel yang mempunyai banyak fanbase ini kembali lagi. X-Men pertama kali dibawa ke layar lebar oleh sang sineas Bryan Singer pada tahun 2000 kemudian berlanjut sekuelnya X2 pada tahun 2003. Film yang bercerita tentang para mutan ini sempat mengalami keterpurukan pada X-Men: The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine, dimana tidak lagi Bryan Singer yang duduk di bangku penyutradaraannya. Hingga pada tahun 2011, X-Men yang bertajuk First Class kembali mendapatkan masa jayanya dengan arahan sutradara baru, Matthew Vaughn. Untuk mempertahankan ritme kesuksesannya, The Wolverine pada tahun 2013 dibuat demi menjadi jembatan penghubung menuju franchise teranyarnya saat ini, Days of Future Past yang tak tanggung-tanggung menghadirkan sang sesepuh, Bryan Singer untuk kembali menahkodainya. Tentu saja hal ini menjadi kabar gembira bagi para fans, apalagi di Days of Future Past ini sang sineas semacam mengadakan acara reuni dengan mempertemukan karakter X-Men generasi First Class dengan generasi The Last Stand. Sound's like hilarious, isn'it?

March 21, 2014

[Review] Divergent (2014)


Sudah seperti tradisi, setiap tahunnya film-film adaptasi novel best seller menghiasi layar lebar perfilman dunia. Apalagi ini datangnya dari ranah young-adult, yang seakan ingin mengikuti kesuksesan pendahulunya, sebut saja saga Twilight dan The Hunger Games. Ya, rumah produksi Hollywood memang menyukai pertaruhan besar apalagi Divergent adalah sebuah novel dari trilogi populer karya Veronica Roth, yang notabene sudah mempunyai fans-nya sendiri. Beruntung yang mengambil hak adaptasi filmnya adalah Summit Entertainment yang sebelumnya menangani saga Twilight, Ender's Game sehingga sudah barang tentu banyak makan asam garam untuk membuat film-nya bisa memuaskan fans novelnya atau malah syukur-syukur bisa menggandeng fans baru (yang belum membaca novelnya). Saya sendiri termasuk yang belum membaca novelnya, jadi ya saya hanya bermodalkan sinopsis untuk menontonnya.

March 16, 2014

Top 21 Movies of 2013

Yeah! Finally I finished this post. Postingan ini mungkin dirasa begitu terlambat bagi para pembaca Catatan Nonton. Saya sadar betul karena untuk membuat postingan ini pun banyak faktor yang harus saya perhatikan. Salah satunya karena banyak judul film yang tidak tayang di layar lebar Indonesia dan belom juga segera rilis dalam bentuk rip-annya. Maka dari itu, saya membuat deretan Top 21 Movies of 2013 ini berdasarkan film sudah saya tonton dengan total lebih dari 200 film sepanjang tahun kemarin. Saya juga baru pertama kali membuat list Top 21 Movies seperti ini yang berarti saya harus menjelaskan bahwa penilaian disini tentu bersifat subyektif. Saya tak pernah peduli dengan aspek-aspek teknis sebuah film, asalkan ada 'sesuatu' dalam film tersebut yang benar-benar mampu mencuri hati saya, sudah pasti saya masukkan dalam list ini.

March 09, 2014

[Review] 300: Rise of an Empire (2014)


Sudah sekitar delapan tahun silam sejak film pertamanya, 300 (2006) yang dinahkodai Zack Snyder merajai box office. Bahkan quote "THIS IS SPARTA!!!" milik seorang Raja Leonidas pun berhasil melekat di benak penonton hingga sekarang. Seakan ingin menambah pundi-pundi emas, installment keduanya yang kali ini dinahkodai oleh seorang sineas Noam Murro yang namanya sendiri sepertinya kurang dikenal dalam kancah perfilman Hollywood. Installment yang bertajuk Rise of an Empire ini sendiri pun diadaptasi dari novel graphic karya Frank Miller yang awalnya berjudul Xerxes kemudian dirubah menjadi Battle of Artemisia yang akhirnya berubah lagi menjadi sekarang ini, sebenarnya belum diterbitkan tapi sudah rilis dalam layar lebar terlebih dulu. Memang sebuah pertaruhan yang besar apalagi kita paham betul sebenarnya akhir dari 300 sudah begitu jelas. 300 yang berhasil melambungkan nama Zack Snyder kini hanya menjabat di kursi produser dikarenakan sibuknya menyutradari proyek Man of Steel.

March 06, 2014

[Review] The Right One (2014)


Bulan Februari lalu, dikenal kebanyakan orang dengan bulan penuh cinta. Berbagai pembuat film menempatkan film-film romantis andalannya dalam bulan tersebut. Tak ketinggalan dengan sineas Stephen Odang, yang mengunggulkan film romantis besutannya, The Right One dalam salah satu jajaran film yang turut menghiasi layar lebar di Indonesia. Jika menyaksikan trailernya, kelihatan menarik sekali karena bersetting di pulau Dewata, yang notabene sangat mendukung sekali suasananya untuk sebuah film-film romantis. Apalagi daya ketertarikan saya ingin menonton film ini menjadi berlebih ketika saya tak sengaja membaca pernyataan di sosial media bahwa The Right One tidak akan tayang di stasiun televisi dan YouTube. Tentu hal ini membuat saya bertanya-tanya besar tentang apa yang sebenarnya menjadi begitu istimewa dalam The Right One hingga tak ada niat sedikitpun bagi pembuat film untuk menayangkannya di media lain.

March 03, 2014

[Review] Dallas Buyers Club (2013)



Dallas Buyers Club masuk dalam empat nominasi dalam ajang penghargaan Oscar tahun ini. Dalam kategori; Best Makeup and Hairstyling, Best Supporting Actor, Best Actor, dan yang paling utama, Best Picture. Meskipun tak terlihat diunggulkan dibandingkan nominasi lainnya, jangan salah Dallas Buyers Club bisa jadi merupakan sebuah film yang begitu manis dengan menyinggung penyakit yang tak diharapkan semua orang memilikinya, AIDS. Di bawah nahkoda sineas asal Canada Jean-Marc Vallee, yang namanya jarang terdengar di insan perfilman Hollywood dan memajang aktor utamanya dalam materi posternya yang terlihat sederhana, Matthew McConaughey yang juga bermain dalam film yang merupakan lawan berat di kategori Best Picture, yakni The Wolf of Wall Street. Akankah bakal ada kejutan dalam film ini yang mampu membuat para juri Oscar mempertimbangkan penilaiannya guna menyabet piala bergengsi tersebut? Mari kita simak.

February 24, 2014

[Review] The Lego Movie (2014)


Sepertinya perusahaan mainan asal Denmark ini berniat untuk semakin memperkokoh kerajaannya. Lego yang dulu kita kenal sebagai mainan dengan banyak balok-balok kecil dengan berbagai bentuk unik yang menuntut kreativitas dan imajinasi untuk membangun fantasi yang kita miliki ini mencoba peruntungan di dunia layar lebar. Mungkin akan semakin terasa menyenangkan bagi mereka yang sudah menggeluti permainan ini sejak lama, yah karena bisa melihat dunia fantasi mereka sekarang hidup dan bergerak melalui visual yang nyata. Hadirnya film tentang mainan bongkar-pasang ini tentu saja tak lepas banyak komentar negatif dari berbagai pihak. Mengingat The Lego Movie bukanlah hal baru mengenai film yang berangkat dari adaptasi mainan, Sebelumnya kita mengenal G.I Joe dan Barbie yang yaaah... tak begitu memorable. Lantas, akankah mainan yang justru terlihat kaku dari dua sebelumnya bakal cukup menghibur? Atau malah kalo beruntung menjadi sajian yang sanggup melebihi ekspetasi penonton?

February 18, 2014

[Review] RoboCop (2014)


"Dead or alive, you're coming with me!" - Detective Alex Murphy

Nampak gagah bersenjatakan pistol dengan balutan besi berwarna hitam, RoboCop kembali bangun dari tidur panjangnya untuk memberantas kejahatan di Detroit. Sebelum menonton RoboCop versi 2014 ini saya bersikukuh untuk menyelesaikan triloginya terlebih dahulu dan yah hasilnya saya terpikat oleh RoboCop klasik versi 1987 dari film pertamanya. Lalu dua film sekuelnya? Sungguh buruk dan saya nyaris tak percaya kalo RoboCop 2 dan RoboCop 3 bukanlah film yang khusus ditujukan untuk penderita insomnia. Sang sineas Jose Padilha seakan ingin memperbaiki citra buruk Polisi Robot ini dengan menghadirkan RoboCop versi baru-nya. Entah bagaimana kamu menyebutnya sebagai remake atau reboot, yang pasti beberapa elemen tambahan dihadirkan disini dan juga yang paling nampak jelas adalah tampilan armor-nya. Akan tetapi, lagi-lagi akan menimbulkan banyak pertanyaan yang terbilang sederhana untuk remake/reboot RoboCop ini, "Apakah sudah perlu?"

February 06, 2014

[Review] The Past (2013)


"There is still one little similar thing between me and my wife to not get divorce.
The color of  our countries flags!" - Shahryar

A Separation memperkenalkan saya kepada sineas fenomenal asal Iran bernama Asghar Farhadi. Betapa tidak, film yang dibintangi Peyman Moaadi tersebut mendapat banyak respon positif dari banyak pihak. Bahkan mampu memboyong piala botak emas dalam kategori Best Foreign Language pada tahun 2012 lalu. Ya, itu adalah kemenangan Oscar pertama bagi perfilman Iran. Siapa sangka, film yang hanya mempunyai premis sederhana yakni perceraian dalam sebuah rumah tangga mampu mengaduk-aduk emosi penonton hingga credit title bergulir. Jika dicermati, di sepanjang cerita A Separation tak ada sedikitpun scoring yang mengiringi. Kali ini sang sineas kembali hadir dengan karya teranyarnya yakni The Past yang mempunyai judul asli Le Passe, juga menyinggung sebuah konflik dalam rumah tangga. The Past juga mendapat nominasi di ajang Golden Globe 2014 lalu dalam kategori yang sama meski akhirnya harus kalah oleh The Great Beauty dari Italia.

February 02, 2014

[Review] Comic 8 (2014)


"Saya anggota DPR disini. Dewan Perwakilan Rampok." - Ernest

Belakangan ini stand up comedy semakin meledak di Indonesia. Hal inilah yang melatarbelakangi sang sineas Anggy Umbara (Mama Cake, Cowboy Junior The Movie) membuat sebuah film komedi dengan mengambil tokoh utama yang notabene stand up comedian lokal. Sebutlah bintang-bintang ternama seperti Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Pahlevi, Bintang Timur, Babe Cabita, Fico Fahriza, Arie Kriting, Mudi Taylor, serta banyak lagi stand up comedian lokal dan artis terkenal lainnya yang berperan sebagai pemain pendukung. Dalam sebuah majalah, sang sineas sendiri mengungkapkan bahwa selama menjalani syuting Comic 8, ia menemukan sesuatu yang berbeda, dan tidak ia temukan saat syuting film yang pernah digarapnya. Bagi siapapun yang mengikuti serpak terjang stand up comedy di Indonesia seperti saya, Comic 8 yang memang terlihat menjanjikan dan menawarkan sesuatu yang berbeda dibandingkan film-film komedi Indonesia sebelumnya, tak bisa begitu saja untuk dilewatkan.

January 25, 2014

[Review] Runner Runner (2013)


"This is your job. You want a clear conscience, go start a charity. But if you want your own island 
and your boss says you gotta go out there and take a beating, you go out there,
take it and come back to work and say,' do you need me to do it again?'" - Ivan Block

Perjudian selalu menjadi premis film-film yang tak pernah usai. Hal itu tak lepas dari setiap orang yang melakukannya, dari kalangan atas hingga kalangan bawah pun. Lihat saja, tak hanya di negara-negara maju, di Indonesia saja yang notabene melarang perjudian masih saja terjadi kegiatan seperti itu. Bahkan tak hanya sembunyi-sembunyi, secara terang-terangan pun kerapkali kita temukan. Seiiring dengan kemajuan teknologi, perjudian pun juga mengikuti perkembangan zaman. Melalui Runner Runner, penonton bisa menyimpulkan bahwa perjudian secara online adalah bentuk perjudian yang paling berbahaya, cukup masuk akal memang karena sekedar click mouse, jumlah uang yang dipertaruhkan mungkin tak akan bisa kembali. Didukung dengan tiga cast utama, Justin Timberlake, Ben Affleck, dan Gemma Arterton yang terpampang jelas di poster promosinya juga merupakan perjudian bagi Runner Runner untuk bisa menjadi sebuah sajian yang menarik.

January 18, 2014

[Review] Blue Jasmine (2013)


"Some people, they don't put things behind so easily." - Augie

Woody Allen, seorang sineas eksentrik yang telah banyak melahirkan karya-karya berkualitas. Sebut saja yang paling fenomenal Annie Hall (1977) yang telah menggondol empat piala Oscar. Kali ini, Allen kembali dengan sebuah film yang naskahnya dia tulis sendiri dan juga sukses membawa artis utamanya asal Australia, Cate Blanchett masuk dalam nominasi Oscar 2014 kategori best actrees. Tak banyak saya menonton karya-karya Allen, tapi beberapa yang sudah saya tonton, semuanya memang mempunyai ciri khas seorang Woody Allen. Tapi dalam Blue Jasmine kita tidak terlalu banyak diajak jalan-jalan menyusuri pemandangan kota-kota seperti Midnight in Paris (2011) melainkan diajak menyusuri ke dalam permasalahan kompleks yang dialami oleh sosok Jasmine. Banyak respon positif dari kalangan kritikus yang membuat saya semakin penasaran terhadap film ini.

January 08, 2014

[Review] The Secret Life of Walter Mitty (2013)


"To see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, draw closer,
to find each other, and to feel. That is the purpose of life." - Walter Mitty

Berkhayal mungkin adalah pekerjaan yang paling menyenangkan bagi banyak orang. Di dalam khayalan, setiap orang bebas mempunyai atau melakukan hal-hal di luar yang bisa terjadi dunia nyata. Ekspresi yang tak terbatas sangat mungkin berada dalam dunia khayalan. Setidaknya itulah karakter seorang Walter Mitty. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul sama yang dipublikasikan pada tahun 1939 oleh James Thurber ─seorang kartunis, penulis, dan jurnalis sebuah majalah terkenal waktu itu. Tak usah khawatir melihat tahun 1939-nya (walaupun saya sendiri juga belom membaca cerita pendek aslinya), ditangan sutradara yang juga sekaligus menjadi pemeran utamanya, Ben Stiller (Night at The Museum dwilogy, Tropic Thunder) merubah The Secret Life of Walter Mitty menjadi sebuah road movie yang bersetting modern dan sangat bisa dinikmati oleh penonton dari berbagai kalangan. Mungkin ini sebuah film yang ditujukan bagi pegawai kantoran dengan pekerjaan membosankannya yang ingin mencari arti hidup.