April 05, 2013

Teater Sudo Ora Sudo


Selain film, menonton pertunjukkan teater juga merupakan kepuasan tersendiri bagi saya. Saya sangat suka suasana teater. Ada semacam kerinduan untuk sekali lagi tampil di panggung. Menyenangkan melihat karakter-karakter yang sedang berakting, meluapkan emosi, dan berpadu dengan iringan gamelan.

Teater Sudo Ora Sudo adalah sebuah pertunjukkan yang begitu menarik. 11 anak tuna rungu yang berbakat turut serta dalam mengambil peran. Adalah DVO (Deaf Volunteering Organization) dan GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) yang berada di balik layar pertunjukkan ini. Teater ini bercerita tentang seorang anak tuna rungu bernama Laras. Putra semata wayang dari pasangan ki Joko dan bu Joko. Ki Joko yang seorang lurah tidak bisa menerima keadaan seperti ini. Sampai-sampai ki Joko berpikir bahwa keadaan Laras yang tuna rungu tersebut dikarenakan guna-guna dari pesaing calon lurah tahun depan. Dipanggilnya dukun sakti untuk menyembuhkan Laras, namun tidak berhasil karena digagalkan oleh bu Joko. Ki Joko yang sangat geram ingin menampar wajah bu Joko namun dengan cepat Laras menggagalkannya dengan mendorong tubuh ki Joko sehingga terjatuh. Semakin marah, ki Joko sampai ingin mengangkat kursi dan melemparkannya ke arah Laras. Laras yang begitu ketakutan berlari meninggalkan rumah dan menuju rawa. Entah apa yang terjadi pada Laras.



Pertama kali saya berpikir bagaimana teater ini akan bisa dipahami oleh penonton yang tuna rungu juga. Tetapi begitu acara dimulai dan diawali sambutan, saya melihat di sisi kiri dan kanan panggung ada penerjemah yang piawai menggunakan bahasa isyarat-nya. Seketika itu saya takjub dan ketertarikan meilhat teater ini smakin besar. Handphone saya matikan, saya mau fokus terhadap keseluruhan cerita ini.

Adegan dimulai dengan Laras yang lahir di dunia ini. Sulit untuk bagaimana saya menulisnya agar kamu juga bisa membayangkannya tetapi itu dikemas dalam bentuk karakter-karakter yang berwajah putih dengan tarian-tarian mengelilingi sebuah telur kemudian Laras keluar dalam telur itu. Kemudian beralih ke dalam rumah ki Joko. Tentu saja, teater akan terlihat membosankan tanpa humor dan saya rasa humor-humor dalam tetater ini sangat pas dengan porsinya. Memang klasik, karakter-karakter pembantu yang bertingkah konyol namun apa yang membuatnya terasa beda adalah seorang pembantu yang tuna rungu bernama Ulit dipasangkan dengan pembantu yang bisa mendengar bernama Kempet. Chemistry mereka begitu dapet hingga tak pernah gagal memancing penonton tertawa. Kempet digambarkan sebagai pembantu yang bisa menerjemahkan bahasa yang diisyaratkan oleh orang tuna rungu. Selalu konyol melihat Kempet sebagai perantara perbincangan antara ki Joko dengan Ulit.


Seperti yang berada di sinopsis tadi. Pertunjukkan ini berjalan ke arah yang sesuai dengan jalurnya. Tak pernah sekalipun saya mengecek jam untuk tahu kapan pertunjukkan ini selesai. Saya begitu terhanyut akan ceritanya dan juga tentu saja tingkah-tingkah konyol yang dibawakan karakter-karakternya. Ada juga adegan sekelompok petani-petani tuna rungu yang break dance. Iya break dance. Sebuah selingan yang tepat di tengah cerita untuk kembali meningkatkan mood penonton. Semua karakter membawakan dirinya dengan sangat pas. Tetapi yang berperan sebagai Ibu dari anak-anak petani itu sepertinya kelewat cantik. Make-up sebagai nenek-nenek tak bisa menghilangkan wajah alaminya dan menipu mata penonton.

Mungkin kekurangan dalam pertunjukkan ini adalah masih ada penonton yang lupa akan mematikan nada dering handphone-nya. Sering berbunyi di tengah-tengah pertunjukkan dan itu tentu saja bisa mengganggu penonton lain yang menikmatinya. Yah, akhirnya saya hanya berkata bahwa pertunjukkan tadi malam benar-benar bagus. 

No comments:

Post a Comment