July 30, 2013

[Review] The Conjuring (2013)


"Want to play a game of hide and clap?" - Unknown

"First Clap!" teriak seseorang yang matanya ditutup dengan kain sembari meraba-raba apapun demi menemukan sesuatu. Suara tepukan tangan terdengar dari jauh. Sudah tentu si mata tertutup dengan bermodalkan indra pendengarannya berusaha mendekati sumber suara. "Second Clap!" teriak si mata tertutup kedua kalinya. Terdengar lagi tepukan tangan yang semakin dekat dan yap, si mata tertutup berhasil menemukan si penepuk tangan. Permainan pun berakhir. Sungguh menyenangkan ya dilakukan bersama teman-teman seumuran. Tetapi tunggu dulu, bagaimana jika permainan tersebut dilakukan bersama sesosok yang bahkan tak berwujud? Yap, secuil adegan memorable tersebut akan disajikan dalam film ini, The Conjuring dengan nahkoda penyutradaraan yang dipegang oleh pembuat Insidious, James Wan. Insidious sendiri merupakan film horror old school yang minim adegan gore. Disajikan dengan konsep sederhana dan menggunakan formula yang hampir mirip seperti Insidious, mari kita lihat apakah film yang berdasarkan kejadian nyata ini mampu membuat saya tidak bisa tidur nyenyak malam harinya. 

Ed (Patrick Wilson) dan Loraine (Vera Farmiga) Warren adalah pasangan suami-istri paranormal yang cukup terkenal karena keahliannya memecahkan kasus-kasus gaib. Kebetulan Ed adalah demonologis yang bukan pastor sedangkan Loraine adalah seorang cenayang. Mereka memang pasangan yang aneh ya, kebayang gak sih waktu mereka menikah mas kawinnya jenglot. Di lain tempat, ada satu keluarga terdiri dari suami-istri, Roger (Ron Livingston) dan Carolyn (Lily Tailor) Perron beserta lima orang anak perempuannya sedang merayakan kebahagian akan pindahan ke rumah barunya. Ternyata eh ternyata keluarga Perron tak sendirian menghuni rumah tersebut, sejak minggu pertama saja mereka sering mendapat gangguan-gangguan mistis. Daaan semakin membabi buta seiring berjalannya waktu. Carolyn yang tak tega melihat anak-anaknya ketakutan mencoba meminta tolong pasangan Warren. Tak perlu berpikir terlalu panjang, pasangan Warren pun bersedia untuk menyelidiki rumah keluarga Perron. Kasus ini pun berlanjut menjadi kasus yang paling sulit sepanjang karir mereka menjadi paranormal.


Perlu saya tekankan disini, kalo saya sendiri bukanlah penggemar film horror. Kamus film horror saya bisa dibilang masih sedikit. Ketika saya mencoba memutuskan menonton film ini ya karena sering disebut oleh teman-teman saya di social media. Seperti yang saya alami ketika menonton Evil Dead, rasa penasaran sangat mungkin bisa mengalahkan ketakutan. Jadi apa yang tersaji dalam The Conjuring adalah sesuatu yang cukup mencekam. James Wan sangat bisa menaik turunkan emosi saya. Dari yang sempat membuat tegang hingga akhirnya memuncak menjadi kumpulan kata-kata serapah. Dalam proses menuju klimaks tidak semuanya tertarik pada beberapa scene, mungkin ada juga yang merasa capek menunggu kejutan yang dinanti-nanti walaupun bakal terbayar lunas kala mendapatkannya. Meski diakui memang, tak ada hal yang baru dalam film ini. Yah namanya saja juga horror old school, tak perlu aneh-aneh dalam pengemasan, Wan mampu mengeksekusi The Conjuring dengan baik. Nilai plus buat scoring yang sangat kampret, ada suatu scene yang menggunakan scoring sampai seperti bergetar hebat. Selain membuat rasa penasaran meningkat dan bulu kuduk berdiri, mengucapkan kata serapah pun rasanya begitu melegakan.

Seperti yang sudah saya bilang di atas tadi, dikarenakan kamus film horror saya yang kurang mendukung. Ada scene tentang pengusiran setan yang membuat saya mengerinyitkan dahi. Kemudian ada juga scene yang membuat saya berpikir, "kok bisa-bisanya sih padahal kan..." Kemudian kekuatan film ini juga didukung kepada jajaran cast-nya yang berkualitas. Tak heran lagi dengan Patrick Wilson dan Vera Farmiga, mereka seakan mampu menunjukkan ancaman terbesar bagi setan-setan di film tersebut. Keluarga Perron yang malang juga mampu menunjukkan sisi naturalnya dalam berakting, pun dengan putri-putrinya yang lugu sehingga mau tidak mau penonton seakan merasa terseret dalam permasalahan yang ada. Kolaborasi yang apik antara sinematography dengan timing yang pas untuk menimbulkan efek kaget mampu menambah nuansa seram. Apalagi ditambah adanya perubahan kamera menjadi mockumentary yang seakan memberi variasi keseraman. Pada akhirnya, setelah selesai menonton film ini saya sedikit bersyukur saya tak mempunyai lemari baju yang besar. Ya, berjaga-jaga saja siapa tahu sayup-sayup terdengar bunyi tepukan tangan di dalamnya. Clap clap!

P.S : Sepanjang credit title bergulir, disajikan foto-foto Warren's Family dan Perron's Family yang asli. Sungguh menyeramkan membayangkan kejadian-kejadian yang kita tonton sepanjang film benar-benar terjadi dunia nyata.




No comments:

Post a Comment