"I'am the Fire. I'am King Under the Mountain!" - Smaug
Ada banyak dongeng klasik mengenai seorang pangeran melawan seekor naga demi mendapat emas, entah itu dari hadiah sayembara ataupun harta karun yang dijaga naga itu. Pada intinya yang tertuang pada novel fiksi karya J.R.R Tolkien tidak jauh dengan hal tersebut. Hanya saja tidak ada pangeran disini, diganti dengan Hobbit kecil nan pemberani. Saya pribadi termasuk yang sudah membaca novelnya dan takjub dengan kejeniusan sang sineas yang membagi novel setebal 300 halaman ini menjadi tiga film dengan durasi masing-masing lebih dari dua jam. Sudah barang tentu The Hobbit dinahkodai sineas yang tepat, iya, sineas yang sudah mendarahdaging dengan seluk beluk Middle Earth, dan juga sineas yang mampu membawa The Lord of The Rings: Return of The King (2003) memboyong 11 Piala Oscar. Tentu saja sang sineas itu adalah Peter Jackson. Pada awalnya, Peter Jackson membagi film ini menjadi dua bagian saja, tapi kemudian menjadi tiga film guna pengembangan tokoh dan peristiwa yang dalam novel aslinya hanya disinggung sedikit. Bahkan sineas juga menciptakan tokoh-tokoh baru yang tidak disebutkan dalam novelnya. Hal itu merupakan langkah yang tepat karena The Hobbit sendiri bersetting sebelum kisah di The Lord of The Rings sehingga kesinambungan ceritanya lebih memudahkan untuk diikuti.
Setelah mengikuti petualangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) bersama 13 Dwarves dan seorang penyihir di The Hobbit: Unexpected Journey tahun lalu -yang tentu saja baru menempuh setengah perjalanan mereka menuju Lonely Mountain. Kali ini, mereka kembali melanjutkannya dan harus memasuki Mirkwood Forest. Hutan yang sangat kelam, dihuni oleh mahkluk-mahkluk yang tidak bersahabat dan kaum Elves. Mereka terpaksa meneruskan petualangan ini tanpa Gandalf (Ian McKellen) dikarenakan sang penyihir harus menuju ke suatu tempat bernama Dol Guldur. Perjalanan Hobbit dan 13 Dwarves menjadi berat tanpa adanya Gandalf, mereka harus melawan sekumpulan laba-laba, sempat juga tertangkap oleh kaum Elves -yang mempertemukan mereka dengan sosok Legolas (Orlando Bloom). Tak hanya itu saja, pemimpin Orc yang paling bengis, Azog (Manu Bennet) masih mengejar kawanan Bilbo demi membunuh Thorin (Richard Armitage). Mereka harus melalui semua itu demi mencapai Lonely Mountain dan mengembalikan tahta Thorin untuk menjadi raja, dengan mendapatkan batu keramat Arkenstone yang dijaga oleh sosok naga raksasa bernama Smaug yang konon pedang dan tombak tak mampu menembus kulitnya.
Siapa yang tak begitu bahagia untuk kembali ke Middle Earth. Dunia para Dwarf, Elf, dan mahkluk-mahkluk menakjubkan berada. Memang tak sesederhana itu, disamping menikmati sajian lezat berupa visual yang mencengangkan, penonton juga disuguhi cerita kompleks mengenai permasalahan yang timbul akibat huru-hara yang diakibatkan Smaug. Peter Jackson lebih memilih untuk tidak terlalu menyimpang dari karya tulisnya karena apa yang saya imajinasikan ketika membaca novelnya terpampang persis dengan filmnya. Lagipula dengan durasi yang cukup panjang selama 161 menit, sineas tidak perlu terburu-buru menyelesaikan kewajibannya, dia sempat menambahkan beberapa adegan di luar cerita novelnya yang masih terpaut dalam dunia karangan Tolkien tersebut. Sungguh ini sangat membuat fans pembaca novelnya berteriak girang. The Desolation of Smaug juga kembali menampilkan sosok peri pemanah di trilogi The Lord of The Rings yakni Legolas. Semakin tak terbendung kegirangan penonton kala menyaksikannya. Ditambah peran Orlando Bloom sebagai Legolas mendapat porsi yang tidak sebentar, dengan segala keahlian bertarung dan memanahnya Legolas mencuri perhatian penonton di film ini, terlebih scene yang di sungai.
Tapi tetap saja tokoh utama di film ini adalah sang Hobbit, Martin Freeman. Terlihat sekali mengalami pengembangan karakter yang dulu di film pertamanya terlihat penakut, sekarang lebih pemberani. Freeman semakin menyatu dengan perannya menjadi Hobbit. Pun dengan Ian McKellen yang sudah tak diragukan lagi perannya menjadi Gandalf. Para Dwarf juga turut menyajikan penampilan terbaiknya. Lihat saja Richard Armitage sebagai Thorin. Persis dengan apa yang digambarkan di novelnya. Mempunyai ego yang tinggi. Tak hanya itu, Dwarf yang lain juga diberikan kesempatan untuk menjajal kebolehannya, Kili (Aidan Turner) dan Balin (Ken Stott) berperan baik dengan karakternya masing-masing sehingga kumpulan Dwarf tak hanya didominasi oleh Thorin saja. Karakter lainnya yang mendapat porsi dominan adalah Evangeline Lily sebagai Tauriel, sepertinya nama dia tak disebutkan dalam novelnya yang jelas, dengan hadirnya Tauriel sebagai tokoh baru justru memberi warna tersendiri. Adegan klimaks yang paling ditunggu tentu saja pertemuan Bilbo dengan Smaug. Gabungan CGI yang begitu detail dan suara sang naga yang diisi Benedict Cumbercatch menjadikan Smaug seekor naga yang mengerikan. Jackson membuat adegan laganya menjadi sedikit rumit tapi masih menyenangkan. Meskipun belum bisa mengalahkan adegan "Riddle in The Dark" di Unexpected Journey sebagai adegan terbaik saat ini sepanjang trilogi The Hobbit. Kita harus merasa beruntung dengan kembalinya Peter Jackson ke proyek ini, karena sudah kedua kalinya menjadikan film The Hobbit sebagai film penutup tahun yang menghibur.
keren nih, jadi pengen nonton, terima kasih ya buat reviewnya gan :D
ReplyDelete