August 27, 2013

[Review] Percy Jackson: Sea of Monsters (2013)


Butuh waktu tiga tahun untuk melanjutkan sekuel dari film pertamanya, Percy Jackson & The Olympians: The Lightning Thief dengan nahkoda penyutradaraan yang diambil alih oleh Thor Freudenthal - yang namanya kurang begitu dikenal dibandingkan Chris Columbus. Para fans pun pastinya berharap dengan masa produksi yang terbilang cukup, eksekusi film yang diadaptasi dari novel karya Rick Riordan ini akan bisa lebih memuaskan. Apalagi bagi mereka-mereka yang merupakan penikmat novelnya, sudah barang tentu ekspetasi mereka terlalu berlebihan. Saya sendiri termasuk salah satunya. Beban berat memang yang ditanggung oleh pembuat film yang diadaptasi dari novel fiksi fantasi remaja. Film ini pun saya yakin mengalami hal yang serupa, pertama, film seri sebelumnya The Lightning Thief kurang begitu sukses memulai langkah awal sebagai batu loncatan untuk kehadiran sekuelnya. Kedua, dengan alur cerita yang sangat padat dan kompleks dari novelnya, ketika di film pasti akan dipotong disana-sini demi mencukupi durasi.

Di perkemahan para demigod, ada sebuah pohon yang juga memancarkan tameng pertahanan dari serangan-serangan monster. Itulah yang membuat demigod-demigod merasa tetap aman di dalamnya. Suatu pagi, ada monster banteng yang berhasil menembus pertahanan dan berhasil memporak-porandakan sebagian besar perkemahan. Hal itu membuat para demigod bertanya-tanya apa sebabnya. Setelah diteliti, pohon yang mempunyai nama pohon Thalia - yang merupakan pohon yang tumbuh dari jenazah Thalia (anak Zeus yang dengan gagah berani menghadapi Cyclops demi melindungi perkemahan) - telah diracuni. Hanya satu yang bisa menyembuhkan pohon Thalia, yakni Golden Fleece yang berada di area Sea of Monsters.  Petinggi perkemahan, Dionysus (Stanley Tucci) mengirim Clarisse (anak Ares) beserta tim yang dipilih untuk membawa Golden Fleece. Karena tidak dipilih, tim Percy Jackson (Logan Lerman) yang terdiri dari Annabeth (Alexandara Daddario), Grover (Brandon T. Jackson), dan seorang pendatang baru perkemahan yang mengaku sebagai anak Poseidon danjuiga saudara Pecry, Tyson (Douglas Smith) memutuskan untuk kabur dari perkemahan demi mencari Golden Fleece.


Entah, kenapa penunjukkan kursi sutradara yang baru jatuh kepada Thor Freudenthal yang namanya kurang begitu dikenal. Mungkin hal itu merupakan sebuah kesalahan yang fatal dimana selama tiga tahun belakangan ini, penonton sudah bertumbuh dan mengharapkan Percy beserta kawan-kawan berkembang ke arah positif dan jauh lebih dewasa katimbang film pertamanya. Apa yang saya rasakan di film ini, justru terkesan cemen dan begitu kekanak-kanakan. Banyak sekali potensi-potensi yang seharusnya bisa digali lebih dalam untuk memberikan kesan yang kompleks. Naskahnya masih terasa belum rapi, disana-sini seperti terkesan terburu-buru, setelah konflik satu selesai langsung dihajar konflik kedua tanpa membuat penonton merasakan seperti hanyut ke dalamnya. Beberapa joke masih terasa hambar, dramanya yang kurang begitu emosional, dan petualangan yang dibalut dengan mitologi Yunani yang seharusnya menjadi menyenangkan malah berubah sebagai study tour anak-anak yang mudah dilupakan. Dan oh ya, bahkan saya belum bilang monster-monster yang seharusnya mengerikan terlihat begitu cupu disini. Saya sangat menyayangkan itu.

Salah satu jualan utama Percy Jackson: Sea of Monsters adalah hiburan visual. Melihat film pertamanya yang kurang kaya akan itu, tentu banyak yang berharap bahwa di kali keduanya akan lebih memanjakan mata. Tapi kalo boleh saya bilang, masih kurang untuk ukuran film sekuel. Sea of Monsters yang merupakan sub judul film hanya sekedar numpang lewat. Setting di lautnya hanya sebentar dan kurang mengena. Mencoba untuk tetap setia dengan novel namun justru jadi boomerang. Dialog-dialog semangat yang dilontarkan Percy masih menggunakan formula lama yang menyebabkan penonton bisa menerka-nerka apa yang terjadi selanjutnya. Saya tak ada masalah dengan peran masing-masing karakter. Logan Lerman sebagai Percy Jackson milih bermain aman dengan menjadi pahlawan yang akan menyelamatkan dunia. Alexandra Daddario sebagai Annabeth, Douglas Smith sebagai Tyson, Brandon T. Jackson sebagai Grover mampu bermain bagus sebagai rekan-rekan seorang pahlawan. Cuman seperti yang saya bilang di awal tadi, masih terkesan kurang dewasa. Dan sayangnya Leven Rambin sebagai Clarisse terlihat kurang  begitu maksimal. Yap, mungkin satu hal yang membuat saya terpesona adalah penampilan Alexandra Daddario yang begitu cantik.


No comments:

Post a Comment