Clint Eatswood, seorang sineas besar yang sebelumnya pernah menyutradarai film bertema perang yang mencuri perhatian para pengamat film dunia yakni Flags of Our Father dan Letters from Iwo Jima, kembali lagi menahkodai film bertema serupa, American Sniper. Kali ini sineas yang sudah berusia lebih dari sepuluh windu itu mengangkat biopik dari seorang sniper ternama di Amerika, Chris Kyle. Melihat serpak terjang sang sineas, tentu saja semua karya-karyanya tak bisa dianggap remeh, dari semuanya yang pernah saya tonton, saya kagum tidak ada satupun yang membuat saya memalingkan perhatian pada layar karena cara pengolahan dramanya yang begitu kental dan kuat, lihat saja Unforgiven, Mystic River, Gran Torino, Changeling, kemudian yang terkenal yang menceritakan biopik Nelson Mandela yaitu Invictus hingga yang pernah menggondol piala Oscar yaitu Million Dollar Baby. Jadi ketika American Sniper masuk dalam nominasi Oscar 2015, saya tak mungkin begitu saja melewatkannya.
February 09, 2015
February 03, 2015
Review - Whiplash (2014)
Sebuah film yang mengangkat musik sebagai elemen utama dalam penyajiannya memang sudah banyak digunakan apalagi dipadukan dengan tema romantis seperti Once, Music and Lyrics, hingga yang paling anyar Begin Again. Tapi pernahkah terbayangkan memadukan musik dengan tema thriller? Yeah, let's make this simple. Trying to make a thriller about jazz is like trying to make a horror with puppies; you are starting with a subject that inspires, in most people, the exact opposite of the emotion you are going for. Yet, Damien Chazelle has done it. Berlatangbelakang seorang yang pernah mengikuti sebuah kelompok musik jazz, Damien Chazelle has made a heart-thumping drama about percussion. Jujur, saya adalah orang yang awam tentang dunia permusikan, apa yang saya ketahui tentang musik adalah bagaimana mereka mengalun begitu indah melalui telinga saya. Saya tak pernah tahu jika di sekolah musik pun seorang siswa bakal 'dihajar' habis-habisan untuk bisa menjadi profesional. Whiplash bercerita mengenai itu.
January 09, 2015
2015, The Year with Franchises
Whoaaa! Ternyata sudah kira-kira 6 bulan tidak ada tulisan baru yang mengisi Catatan Nonton. Well, yah, engg.. selain penyakit males-nulis yang pernah dialami semua blogger, actually saya-pun yang juga baru saja terjangkit, juga ada urusan-urusan kampus yang mengharuskan saya untuk memberikan perhatian lebih. Maka dari itu, di awal tahun yang baru ini, juga.. ehem.. gelar saya yang baru.. hehehe, saya akan mulai lagi untuk menuliskan review-review film yang akan saya tonton. Oke, cukup basa-basinya. So, di tahun ini tahun 2015 tentu saja adalah tahun yang masih dihiasi oleh beragam film-film franchise dari masing-masing studio film Hollywood. Dalam majalah Cinemags, definisi franchise adalah memandang film sebagai sebuah produk yang bisa diolah dengan berbagai cara agar bisa menguntungkan di segala lini bukan hanya film, tapi juga misalnya soundtrack, novel, mainan, game, dan lain-lain. Di segi film sendiri sudah pasti ada film sekuel, remake, atau spin-off.
June 29, 2014
[Review] How to Train Your Dragon 2 (2014)
Sejak kemunculannya pertama kali dalam instalment pertamanya pada tahun 2010, How to Train Your Dragon mengalami perkembangan yang cukup besar. Berawal dari kisah klasik anak-anak berbentuk buku berseri karangan penulis British, Cressida Cowell yang kemudian diadaptasi ke layar lebar oleh duo sineas Dean DeBlois dan Chris Sanders, film yang mengisahkan tentang bangsa Viking ini menjelma menjadi salah satu film animasi terbaik ciptaan DreamWorks karena kualitas penceritaannya yang bagus serta menghidupkan kembali kejayaan naga fantasi. Terhitung sudah tiga film pendek dan dua season serial televisi (dan masih berlanjut ke season ketiga pada tahun 2015) yang sudah ditelurkan oleh rumah produksi yang sama yang menaungi trilogi Madagascar. Dalam serial televisinya yang kerap mendapat sebutan DreamWorks Dragon yang masing-masing season bertajuk Riders of Berks (2012-2013) dan Defenders of Berks (2013-2014) berkisah tentang petualangan sang penunggang Night Fury di selang waktu menuju instalment keduanya ini.
June 27, 2014
[Review] The Fault in Our Stars (2014)
Saya tak pernah lupa tanggal hari pertama sebuah film rilis di layar lebar. Berbekal ingatan yang cukup tajam itulah saya seringkali mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain yang tak berhubungan dengan menonton film. Hari ini adalah hari pertama The Fault in Our Stars tayang, tentu setelah menyelesaikan kewajiban saya di kampus, saya siap menuju bioskop untuk menyantap film yang bergenre romantis tersebut. Ketika itu langit terlihat begitu gelap, menandakan betul bahwa tinggal menunggu waktu untuk semesta menyirami Bumi. Masa bodoh pikir saya, toh nanti di dalam teater pun juga tak terasa jika nanti akan turun hujan badai sekalipun.
Bahkan sampai film ini rilis, I didn't know anything about John Green. Penulis asal Amerika tersebut telah menelurkan beberapa karyanya dalam bentuk novel young-adult. Sudah barang tentu novel keenamnya yakni The Fault in Our Stars menjadi incaran studio raksasa Hollywood. Just like usual, kali ini sang sineas yang baru memulai debut layar lebarnya pada tahun 2012 lalu lewat Stuck in Love, Josh Boone memegang kendali penuh untuk menerjemahkan setiap halaman bahasa tulis dalam novel yang laris tak hanya dari segi penjualan namun juga dari pujian para pembacanya ini ke dalam bahasa visual. Pada umumnya, sebuah novel best-seller sudah pasti mempunyai fans-nya sendiri, mengingat hal tersebut cukup fatal sehingga bisa menjadi perhatian bagi pembuat film untuk tidak mengecewakan kalangan tersebut. Belakangan juga terlihat jelas bahwa film-film adaptasi dari ranah young-adult cukup menjual dan mampu menggandeng fans baru yang dalam hal ini belum membaca kisah aslinya yang dibukukan, but.. The Fault in Our Stars was still so adorable with simple premise.. tidak seperti koleganya dengan genre serupa yang menggantungkan pesonanya melalui mahkluk inhuman, sci-fi, fantasi, hingga dunia distopia.
Subscribe to:
Posts (Atom)