June 27, 2014

[Review] The Fault in Our Stars (2014)


Saya tak pernah lupa tanggal hari pertama sebuah film rilis di layar lebar. Berbekal ingatan yang cukup tajam itulah saya seringkali mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain yang tak berhubungan dengan menonton film. Hari ini adalah hari pertama The Fault in Our Stars tayang, tentu setelah menyelesaikan kewajiban saya di kampus, saya siap menuju bioskop untuk menyantap film yang bergenre romantis tersebut. Ketika itu langit terlihat begitu gelap, menandakan betul bahwa tinggal menunggu waktu untuk semesta menyirami Bumi. Masa bodoh pikir saya, toh nanti di dalam teater pun juga tak terasa jika nanti akan turun hujan badai sekalipun.

Bahkan sampai film ini rilis, I didn't know anything about John Green. Penulis asal Amerika tersebut telah menelurkan beberapa karyanya dalam bentuk novel young-adult. Sudah barang tentu novel keenamnya yakni The Fault in Our Stars menjadi incaran studio raksasa Hollywood. Just like usual, kali ini sang sineas yang baru memulai debut layar lebarnya pada tahun 2012 lalu lewat Stuck in Love, Josh Boone memegang kendali penuh untuk menerjemahkan setiap halaman bahasa tulis dalam novel yang laris tak hanya dari segi penjualan namun juga dari pujian para pembacanya ini ke dalam bahasa visual. Pada umumnya, sebuah novel best-seller sudah pasti mempunyai fans-nya sendiri, mengingat hal tersebut cukup fatal sehingga bisa menjadi perhatian bagi pembuat film untuk tidak mengecewakan kalangan tersebut. Belakangan juga terlihat jelas bahwa film-film adaptasi dari ranah young-adult cukup menjual dan mampu menggandeng fans baru yang dalam hal ini belum membaca kisah aslinya yang dibukukan, but.. The Fault in Our Stars was still so adorable with simple premise.. tidak seperti koleganya dengan genre serupa yang menggantungkan pesonanya melalui mahkluk inhuman, sci-fi, fantasi, hingga dunia distopia. 

Yeah, premis yang disajikan dalam The Fault in Our Stars memang masih seputar cinta. Klise? Of course not. Ketika berbicara mengenai cinta, I'm pretty sure every people in this world pasti mempunyai makna sendiri mengenai hal penuh magis tersebut. Pun dengan film adaptasi karya John Green yang terbit tahun 2012 ini, melaluinya cinta dituturkan melalui sosok perempuan remaja cantik bernama Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley). Di usianya yang masih belia, putri semata mayang dari pasangan Michael Lancaster (Sam Trammel) dan Frannie Lancaster (Laura Dern) tersebut mengidap kanker di bagian paru-paru sehingga membuatnya harus selalu memakai alat bantu pernapasan. Tak lengkap dalam sebuah hubungan tanpa kehadiran sosok Mr. Right, untuk itulah John Green menciptakan karakter Augustus Waters (Ansel Elgort) yang ternyata mengidap tumor yang sampai sekarang masih mengerogoti tubuhnya, malangnya, dia juga kehilangan salah satu kakinya sehingga terpaksa memakai kaki palsu. I know I know, they're like impossible relationship. Tapi tentu saja jika menyangkut perkara cinta. Apapun itu, logika tak berlaku.



Sebagai orang yang terlalu percaya diri menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Cah Cinta, film-film bergenre romantis ini ibarat taman belakang rumah dimana saya seringkali bermain di area itu sampai-sampai saya hafal betul setiap elemen yang ada di dalamnya. Karena alasan itulah bagi saya sulit untuk tak jatuh hati dengan The Fault in Our Stars. Film yang karakter perempuannya mengingatkan saya kepada Jamie Sullivan di film A Walk to Remember ini memulainya dengan perlahan, rapi, dan penuh sarat emosi sehingga setiap fase dari perkenalan karakternya bisa melebur begitu mudah dengan penonton. Benar saja, menit demi menit berlalu penonton seakan dengan senang hati membukakan alam bawah sadarnya untuk dihipnotis jalinan cerita. To be honest, sedikit berlebihan jika harus menyebutkan bahwa The Fault in our Stars adalah film cengeng, tak ada sedikitpun elemen dramanya seperti dibuat-buat atau dipaksakan, semuanya teramu sempurna dalam suatu wadah yang dihiasi pemanis berupa iringan lagu yang mudah akrab di telinga terlebih dari Ed Sheeran (All of The Stars) dan Kodaline (All I Want).

Rasa-rasanya pujian paling tinggi patut disematkan pada dua karakter utama, Shailene Woodley dan Ansel Elgort. Sebuah chemistry layaknya 'ruh' bagi mereka, dan tak dipungkiri mereka berhasil saling menjaga 'ruh' tersebut. Artis yang digadang-gadang akan berperan sebagai Mary Jane dalam sekuel kedua The Amazing Spiderman ini dengan segala pesona luar biasanya mampu memperlihatkan sebagai sosok gadis penderita kanker yang tak butuh belas kasihan. Penonton dengan tulus merasa simpati, empati, dan kagum dalam waktu yang bersamaan. Bahkan Ansel Elgort yang namanya belom dikenal luas sejak kemunculannya sebagai karakter Caleb di Divergent juga mampu bersimbiosis mutualisme dengan Shailene Woodley. Mereka saling mengisi kekosongan sehingga tidak ada ruang-ruang kebosanan. Menonton mereka seperti ada perasaan sesak; sesak karena mereka hanyalah karakter fiktif, sesak karena mereka menunjukkan hal yang sulit ditunjukkan oleh orang normal, dan sesak karena hal-hal lain yang mungkin bersifat personal bagi penonton. Sekali lagi, dengan kejeniusan John Green melalui mereka cinta disampaikan dengan begitu indah, begitu pahit lewat dialog-dialog yang menyayat hati.

Hingga credit title bergulir, saya masih terdiam di kursi teater. Sejenak, otak memutar ulang pada sebuah adegan The Fault in Our Stars bagaimana pada menit-menit ketika konflik memuncak, dialog-dialog nan manis itu disenandungkan dan memperdengarkan kepada saya mengenai perasaan paling jujur seorang yang sedang jatuh hati. Tersentak saya bangkit dari lamunan dan melihat saya tinggal seorang diri dalam teater. Ah benar saja, di luar ternyata masih hujan, tidak terlalu deras memang tapi cukup bikin kuyup. Entah, tiba-tiba saya memutuskan untuk menerjang hujan, yah jika nanti tiba-tiba saya sesenggukan mengingat jalinan kisah tadi, orang-orang yang bertanya saya bisa berkilah, "Ah enggak ini cuman air hujan kok."


1 comment: